Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Profil Buya Hamka: Masa Kecil


Saat ini di bioskop-bioskop Indonesia sedang diputar film Buya Hamka, yang dibintangi oleh aktor Vino G. Bastian (sebagai Buya Hamka) dan Laudya Cynthia Bella (sebagai Siti Raham, istri Buya Hamka). Berdasarkan informasi yang dihimpun tim redaksi, di sejumlah bioskop, antusiasme masyarakat untuk menonton film ini cukup tinggi. Di awal penayangan, memang film ini belum terlalu ramai, mungkin karena masyarakat masih sibuk berlebaran. Namun, pekan ini, jumlah penonton meningkat pesat dan kemungkinan besar pekan depan film ini sudah bisa menembus 1 juta penonton, bahkan lebih.

Uniknya, ternyata masih banyak di kalangan masyarakat yang belum mengenal, siapa Buya Hamka. Padahal, beliau adalah sosok yang sangat banyak jasanya bagi bangsa Indonesia secara umum, dan secara khusus untuk Umat Islam, serta dunia jurnalistik dan sastra. Buya Hamka adalah seorang ulama, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama, sekaligus juga seorang jurnalis, penulis, sastrawan, sekaligus juga pahlawan nasional Indonesia. Beliau juga seorang tokoh Muhammadiyah kenamaan yang banyak berjasa membesarkan persyarikatan ini.

Buya Hamka merupakan panggilan akrab pria bernama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah ini. Buya, atau Abuya, merupakan panggilan khas suku Minang yang diserap dari Bahasa Arab, serupa dengan Ayah atau Bapak. Hamka sendiri merupakan kependekan dari nama beliau. Buya Hamka awalnya digunakan sebagai nama pena, kemudian menjadi nama yang melekat dalam keseharian beliau.

Masa Kecil

Buya Hamka dilahirkan di Sumatera Barat, tepatnya di Sungai Batang pada 17 Februari 1908 atau 15 Muharram 1326H. Saat kecil, Buya Hamka dipanggil dengan nama Malik, beliau adalah putra seorang ulama besar di Minang, yakni Haji Abdul Karim Amrullah, atau yang sering dipanggil sebagai Haji Rasul. Sang ayah adalah tokoh pembaharu (tajdid) gerakan Islam di Indonesia, khususnya di Minang, meskipun beliau adalah putra dari Tuanku Kisai, tokoh tarekat yang identik dengan Islam tradisional di Minang. Haji Rasul menikah dengan Siti Shafiyah Binti Haji Zakaria, dan memiliki beberapa putera, termasuk Hamka. Namun, Haji Rasul kemudian bercerai dengan Siti Shafiyah.

Perceraian ayah dan ibunya ternyata sangat membekas di hati Malik atau Hamka. Saat kecil, Malik memang dikenal sebagai anak yang nakal. Dia merasa jenuh untuk bersekolah di sekolah Thawalib, sebuah sekolah yang dirancang untuk para calon ulama, namun sekolah tersebut menganut sistem pendidikan modern dan bersikap terbuka terhadap perubahan. Di sekolah ini, para murid belajar berbagai kitab klasik, nahwu, shorof, dan sebagainya. Metode pembelajaran yang membuat bosan kurang cocok untuk Malik, sehingga dia lebih sering membolos. Meski begitu, Malik dengan cepat menguasai bahasa Arab. Kenyataan itu membuat sang ayah yang sangat ingin Malik menjadi ulama besar sangat kecewa. Mereka pun sering terlibat dalam perdebatan. Kesukaan Malik membaca buku-buku cerita semakin membuat ayahnya marah, karena menurutnya, buku-buku cerita itu tidak akan ada gunanya. Apalagi jika Malik menjadi ulama kelak.

Setelah ayah dan ibunya bercerai, Malik makin tidak bisa dikendalikan. Hubungan dengan ayahnya semakin tidak harmonis. Malik pun keluar dari sekolahnya di Thawalib. Dia semakin sering pergi dari rumah, sehingga ayahnya menjulukinya "Si Bujang Jauh". Dia sempat pergi ke rumah ibunya di Maninjau yang berjarak sekitar 40 KM dengan berjalan kaki, namun di sana pun tidak kerasan karena ada ayah tirinya. Dari Maninjau pada usia sekitar 15 tahun, dengan bekal dan ongkos seadanya, Malik nekad pergi ke Pulau Jawa. Dia ingin melihat kemajuan di Pulau Jawa dan juga terlibat dalam gerakan-gerakan kemerdekaan di Jawa. Namun, di perjalanan dia sakit cacar dan terpaksa membatalkan kepergiaannya ke Jawa.

Pada tahun 1924, atas restu ayahnya, Malik kembali menuju ke Jawa, menuju ke rumah pamannya, Jafar Amrullah yang tinggal di Yogyakarta. Pamannya itulah yang memperkenalkan Malik kepada tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo. Malik pun mulai berguru kepada Ki Bagus Hadikusumo, dan dia merasa sangat cocok dengan metode pengajaran Ki Bagus saat menerangkan tafsir Al-Quran secara mendalam. Dari situlah awal Malik mulai serius belajar agama dan membangun pondasi visi dan misi yang kelak akan menjadi panduan hidupnya. 

BERSAMBUNG

Penulis: Yeni Mulati

1 komentar untuk "Profil Buya Hamka: Masa Kecil"

banner
banner