Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Karena Menikah Bukan Untuk Bercerai


Oleh Yeni Mulati (Mahasiswa Magister Psikologi UMS)

Beberapa waktu terakhir ini, kabar tentang perceraian banyak sekali kita dengar. Tidak lagi menimpa si A dan si B yang memiliki hubungan jauh dengan diri kita, tetapi sudah masuk ke lingkar terdekat kita. Tetangga, sahabat, saudara. Malahan, dalam kurun sekitar 5 tahun ini, di keluarga besar saya, ada 4 yang berproses perceraian. Dua kasus putus di pengadilan: bercerai. Sementara yang dua kasus lainnya, alhamdulillah, berhasil dimediasi sehingga tidak sampai pada keputusan cerai.

Barangkali, hal yang sama pun Anda alami, bukan? Data-data perceraian yang dirilis oleh Pengadilan Agama Republik Indonesia benar-benar membuat saya tercengang. Sepanjang lima tahun terakhir ini, angka perceraian di negeri ini naik pesat. Dari sepuluh pernikahan yang terjadi, satu ternyata berakhir pada perceraian. Dan, dari semua gugatan perceraian, 70% dilakukan oleh pihak istri dengan alasan terbesar adalah ketidakharmonisan. Besarnya angka perceraian itu membuat Indonesia bertengger sebagai pemuncak, alias posisi pertama negara dengan perceraian tertinggi di Asia Pasifik.

Ya, saya benar-benar terkejut. Menjadi rangking pertama dalam hal prestasi tentu menyenangkan. Tetapi, menjadi yang terdepan dalam keburukan, sangat menyesakkan. Terlebih, mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim. Artinya, kasus perceraian tersebut, tentunya kebanyakan terjadi pada kaum Muslimin.

Data itu membayangi saya, sampai-sampai, ketika saya mendatangi pesta-pesta pernikahan, sembari menatap pasangan yang tengah berbahagia di pelaminan, saya sibuk membatin dan berdoa, semoga pasangan ini awet. Maka, ketika satu per satu berita masuk ke memori saya, si A bercerai dengan si B, si C bercerai dengan si D, saya merasakan hati ini begitu sakit. Terlebih, jika kisah-kisah perceraian itu dahulu barangkali hanya menimpa orang-orang yang ‘jauh’, saat ini perceraian sudah terjadi di sekitar kita. Pada sahabat, famili, tetangga dan sebagainya.

Mayoritas Keluarga Tak Sakinah?

Fakta bahwa 70% gugatan dilakukan oleh pihak istri dengan alasan ketidakharmonisan juga membuat saya berpikir, ada apa dengan kaum perempuan kita? Tidak harmonis berarti karena ketidakstabilan. Tidak stabil berarti tidak mantap, tidak ‘cenderung’, alias goyah, yang berarti juga tidak sakinah. Saya kira, angka tersebut hanya fenomena gunung es. Artinya, pasangan yang memilih bertahan dalam ketidakharmonisan, hidup dalam ‘neraka dunia’, bahkan juga menerima perilaku tidak semestinya dari suami, jauh lebih tinggi lagi.

Seorang teman pernah mengajukan sebuah ulasan tentang kaitan semakin tingginya keterserapan tenaga kerja perempuan pada sektor-sektor strategis dengan tingginya angka perceraian. Teman saya mencontohkan sertifikasi guru. Para wanita yang rata-rata guru, memiliki penghasilan lebih tinggi, sementara sang suami yang pekerjaannya tak tetap, tersingkir dari posisi qowwam (pemimpin) yang mestinya memberi nafkah. Semakin tingginya tingkat pendidikan kalangan perempuan, membuat banyak perusahaan lebih memilih menerima tenaga kerja kalangan ini—yang konon lebih ‘menurut’ dan ‘tak banyak tingkah.’ 

Betulkah demikian? Ya, analisis teman saya bisa jadi ada benarnya. Tetapi, lepas dari itu, semua kembali pada visi dan komitmen dari sepasang lelaki dan perempuan saat memutuskan untuk menikah. Kita menikah untuk apa? Jika semata untuk pemenuhan (maaf) kebutuhan biologis, akan ada masa-masa kita mengalami kejenuhan. Jika hanya untuk sekadar mengejar status “Tuan dan Nyonya”, berbagai dinamika yang muncul tak akan cukup diselesaikan dengan status tersebut. Bahkan, ketika tujuan kita adalah bersatu dengan sosok yang kita cintai, akan ada kalanya cinta itu surut. Lalu, apakah ketika sudah tak ada cinta lagi kita memilih untuk berpisah? Lalu, bagaimana dengan anak-anak kita? Hampir semua penelitian menyebutkan bahwa anak-anak yang besar dari keluarga yang broken home, rata-rata mengalami permasalah dengan perkembangan psikologisnya.

Tetapi, jika tujuan kita menikah adalah untuk ibadah, karena kita memiliki visi besar mengkader keturunan-keturunan yang rabbaniyyah, berbagai kendala yang dihadapi, kita akan mencoba mencari solusi. Surutnya cinta, kebosanan, stagnasi, bahkan permasalahan finansial, akan lebih mudah diatasi jika kita memang memiliki semangat untuk menyelesaikan problem tersebut, bukan membiarkan terakumulasi, atau bahkan dijadikan kambing hitam untuk memuaskan ego pribadi.

Kita menikah, karena ingin sakinah. Bukan karena ingin bercerai di kemudian hari, bukan? Lalu, bagaimana cara agar kita bisa meneruskan hubungan rumah tangga, meski badai melanda? Salah satu jawabannya: KOMITMEN.

Komitmen Dalam Pernikahan

Komitmen merupakan hal yang sangat urgen di dalam menjalin interaksi dalam apapun, termasuk pernikahan. Bahkan, menurut Robert Sternberg, komitmen merupakan komponen utama dalam bangunan cinta. Sternberg mencetuskan teori segitiga cinta (the triangular of love theory) yang berbunyi: "the three components of love, according to the triangular theory, are an intimacy component, a passion component, and a decision/ commitment component."

Ya, ada 3 unsur dalam membangun cinta dalam rumah tangga: PASSION, INTIMACY dan COMMITMENT. Seringkali, ketika passion (gairah) tergerus, dan intimacy (keakraban) belum terbentuk atau menipis, maka komitmen pun terkena dampak. Sehingga, pasangan suami istri pun ogah melanjutkan hubungan pernikahan dan memilih bercerai.

Menurut Meyyer dkk (1993), komitmen adalah kekuatan identifikasi individu dan keterlibatannya di dalam organisasi. Ada 3 hal yang merupakan ciri komitmen, yaitu kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap apa tujuan dan nilai-nilai organisasi; kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi; keinginan kuat untuk tetap menjadi bagian dari organisasi. Jika dalam pernikahan, maka organisasi yang dimaksud adalah organisasi rumah tangga itu, yang sebenarnya merupakan organisasi yang sangat kompleks.

Selanjutnya, Meyyer membagi komitmen menjadi 3, yaitu komitmen afeksi, komitmen kontinyu/kontinuam dan komitmen normatif. Pada ranah afeksi, seringkali kita merasa komitmen karena ada faktor-faktor emosi seperti rasa cinta, perasaan bahagia saat berada dalam organisasi tersebut, kerinduan, dan sebagainya. Biasanya, komitmen afeksi sangat kuat saat kita masih awal-awal berumah tangga.

Kemudian, karena adanya hak dan kewajiban, maka akhirnya komitmen berubah menjadi kontinuam, di mana kita komitmen berumah tangga karena butuh nafkah dari suami, atau suami butuh dilayani istri. Sepasang suami istri tetap berada dalam ikatan pernikahan, karena merasa 'tergantung' satu sama lain.

Komitmen ketiga adalah normatif. Ini yang paling mendasar. Ketika kita menikah, kita tahu, bahwa ada cita-cita besar, tujuan mulia, norma-norma atau nilai-nilai luhur yang menjadi acuan, sehingga akhirnya kita memutuskan untuk tetap berada dalam organisasi tersebut.

Ketiga jenis komitmen tersebut, semestinya tetap ada dan saling mendukung satu sama lain. Jika ada satu yang terlepas, maka kita akan merasakan pernikahan yang 'hambar'. Misal, kita hanya bertumpu pada komitmen kontinuam saja. Sebenarnya sudah tak ada perasaan cinta dengan pasangan, tetapi kita takut berpisah karena khawatir bahwa kita tidak bisa mendapatkan kebutuhan yang sudah terlanjur terpenuhi dari pasangan.

Ini kan bahaya! Banyak orang diam-diam memiliki 'selingkuhan', karena sudah tidak memiliki komitmen afeksi dengan pasangan, tetapi khawatir tidak lagi mendapatkan fasilitas-fasilitas dari pasangan. 

Ya, pernikahan memang sebuah interaksi yang kompleks. Memang untuk menjaga keutuhannya, harus terus menerus ada upaya. Jangan menyerah oleh keadaan. Ya, jangan memutuskan bercerai, kecuali memang ada hal-hal sangat prinsip yang memaksa kita, karena kita menikah bukan untuk bercerai.

2 komentar untuk "Karena Menikah Bukan Untuk Bercerai"

banner
banner